Kantor Toxic itu Nyata
Selama berkarir di sejumlah korporat, saya sudah mengalami
aneka ragam lingkungan kerja toksik. Baik itu secara harafiah, maupun secara
konotatif.
Saya pernah kerja di industri rokok. Padahal, saya
benciii banget sama yang namanya asap rokok, perokok, bau rokok, asbak dan
derivasinya. Begitulah hidup. Biar kita benci segimana, eh... ternyata ketulah
juga wkwkwk.
Ya namapun resiko bekerja sebagai budak korporat (terjemahan
bebas dari corporate slave) udah pasti saya paham resiko bekerja di korporasi/
industri rokok. Hampir semua rekan kerja saya adalah perokok aktif.
Klebas-klebus all the time! Meskipun sedang bekerja di dalam ruangan ber-AC,
mereka tetap menyedot batang "tuhan sembilan senti" itu, dan
menghembuskan asapnya ke berbagai penjuru, whoosss!
Mau lebih epic lagi? Saya kerja di korporasi rokok itu,
ketika sedang berbadan dua. :-D Maknyussss! Otomatis diriku dan janin dalam
perut ini terpapar asap rokok SETIAP HARI setiap saat setiap waktu. Mau kabur?
Ya, mana mungkin? Kerjaan berentet kudu segera dirampungkan. Lebih perfecto
lagi nih, bos eikeh adalah tipikal boss yang mirip banget dengan Miranda
Priestly, sosok boss perfeksionis yang ada di film The Devil Wears Prada. Mamam
tuhhh!
Boss saya ini punya ekspektasi yang luar biasa. Saya kan
kerja sebagai public relations. Bergaul, bersahabat, membina relasi dengan
para jurnalis adalah tugas yang harus saya emban. Boss selalu bertitah, bahwa
event perusahaan kami kudu dapat coverage berita yang gede, dengan
angle pemberitaan super positif, dan sebagainya.
"Kita kan udah sering bayar mahal untuk pasang iklan di
koran A. Nggak tahu gimana caranya, kamu harus bisa make sure wartawan dan
redaktur untuk bikin tulisan yang lebih bagus!" tukas Boss ketika
nyap-nyap di morning meeting, lantaran koran A cuma memuat berita secuit
tentang event peresmian pabrik rokok kami.
Ya sudah, embuh piye carane (ga tau gimana caranya) saya
kudu berjibaku, supaya bisa memenuhi target boss.
Cukup sampai di sini? Oh, tunggu dulu, Ferguso!! Seperti
yang saya bilang, Boss saya ini punya karakter beti beti alias beda tipis
sama Miranda di film The Devil Wears Prada.
Ingat adegan ketika Miranda memerintahkan anak buahnya untuk
berburu hard copy Harry Potter terbaru yang belum di-release? Nah, itu kan
urusan pribadi, ya.
Boss yang baik seharusnya tidak mencampuradukkan urusan
pribadi dengan urusan kantor. Yeah, kalau sesekali, atau terkait urusan yang
sifatnya urgent sih, monggo aja. Tapiii... kalau urusan
me-laundry pakaian untuk kawinan, lalu memastikan pakaian laundry-an itu
daku titipkan ke teman yang sedang ada business trip dari Surabaya ke
Jakarta.... menurut ngana? Duhh, ampuuun pak Boss!
(ehh.... tetiba jadi ingat film MY STUPID
BOSS wkwkwwk)
Tapiii, anehnya, biarpun berada di lingkungan kerja toksik
(baik secara fisik maupun psikis) saya betah tuh kerja di perusahaan tersebut.
Walau nyaris tiap hari kuping dan hati ini berasa teriris, karena boss-ku terus
menerus menuntut ini itu ina inu, yaaaa daku sih tetep enjoy! Kiatnya
apa?
(1). Gaji, fasilitas dan remunerasi maknyus
Tidak bisa dipungkiri, kerja di industri multinasional itu,
bikin rekening bank-ku auto gendut setiap tanggal 25. Gajinya (untuk ukuran
pekerja fresh graduate) sangat lumayan banget! Udah gitu, banyak fasilitas yang
kita dapatkan. Plus, ada kesempatan untuk dapat Beasiswa belajar ke luar negeri
bagi karyawan yang menunjukkan prestasi menawan. Siapa yang nggak ngiler,
coba?
(2). Kesempatan Traveling Abidin
....Abidin alias Atas Biaya DInas ;) Pabrik rokok ini
menguasai pangsa pasar di seluruh wilayah Indonesia. Otomatis, saya kerap
ditugasi untuk business trip ke berbagai destinasi dalam negeri. Medan, Manado,
Gorontalo, Palembang, Padang dan berbagai kota-kota lain yang belum tentu bisa
saya samperin kalau tidak meniti karir di industri ini.
Lebih maknyus lagi, udah traveling dibayari kantor, eh,
masih juga dikasih allowance yang (lagi-lagi) bikin rekening makin menggendut!
Penerbangan kelas 1, hotel (minimal) bintang 4, boleh pesan makanan apaaaa
aja... duh, benar-benar pengalaman business trip yang super awesome!
(3). Saya pernah berada di lingkungan kerja yang lebih
"menyiksa"
Hohoho.... sebelum kerja sebagai public relation, saya
adalah presenter dan reporter sebuah stasiun TV yang kudu meng-cover aneka
berita di Surabaya dan sekitarnya, plus kudu siaran pagi. Bayangkan, SETIAP
HARI saya kudu ke kantor jam 3 pagi, dan baru pulang jam 8 malam, TANPA duit
lembur.
Ulalaaa.... rasanya udah kayak kerja sama VOC 😊
Bener-bener kerja rodi, dengan gaji yang bikin istighfar. Fasilitas? Boro-boro.
Mungkin karena kami para jurnalis ini dianggap 'kerja sesuai passion' jadinya
yaaahhh begitulaahh gaji seadanya.... tunjangan, remunerasi dll nggak bisa
diandalkan juga.
Nah, karena itulah, saya menganggap toksiknya lingkungan
kerja di pabrik rokok ini enggak ada apa-apanya. Boss saya memang demanding dan
super-duper-extra-perfeksionis. Tapiii, ya sudahlah. saya anggap itu resiko
kerja di multinational corporation. Barangkali, di tempat lain, bossnya malah
lebih galak atau bahkan melakoni pelecehan seksual / mem-bully karyawan?
(4). Teman-teman yang Asyik
Walaupun ngeselin karena masuk kategori heavy smokers,
teman-teman saya tuh punya karakter yang asyik. Alhamdulillah, saya bersyukur
dikelilingi sesama budak korporat yang selalu siap ketawa dan 'puk puk' bareng
setiap ada masalah. Ini kan gunanya teman? Berbagi suka dan duka bersama. Oh,
so sweet :D
(5). Aku Bekerja, Maka Aku Ada
Jadiii, saya nih dibesarkan oleh single parent. Ibu saya
bekerja sebagai guru, dengan nominal gaji yang tidak seberapa, tapi cukup untuk
menghidupi kami sekeluarga.
Ibu adalah role model dalam hidup. Saya semakin takjub
dan mengapresiasi sosok Ibu, karena beliau bekerja.
Memodifikasi kutipan Descartes, Saya berpikir maka saya
ada..... Boleh kan bikin versi sendiri "Aku bekerja maka Aku Ada."
***
To sum up, berada di lingkungan kerja toksik, menuntut
kemampuan adaptasi dan point of view yang berbeda. Memang menyebalkan, tapi di
dunia yang fana ini, bukankah tidak ada pekerjaan/ tempat kerja yang 100%
SEMPURNA?
Saya pun pernah berada di lingkungan kerja yang damai, aman,
nyaman, sentosa. Boss dan rekan kerja baik-baik calon penghuni surga. Tapi....
gajinya? Tiap buka slip, rasanya seperti mengiris bawang. Bikin mewek kejer,
cuyy!
Apalagi di masa seperti sekarang, punya pekerjaan tetap
adalah sebuah karunia yang harus terus-menerus disyukuri.
Ingat-ingat, STRES karena kerjaan jauh lebih FUN
ketimbang STRES karena nggak punya kerjaaan.
Semangat!

Komentar
Posting Komentar