Super Duper Hero


"Eh, Ma, beli sepatunya kapan?"

"Waduh, kayaknya buat lomba fashion, kita musti sewa kostum deh..."

"Aduh, ma, kita musti urunan lagi, buat itu tuh, bayar pelatih nyanyi anak-anak..."

"Berapa urunannya?"

"Lah, kemaren itu duit apa loh, Ma? Kok sekarang urunan lagi?"

Glek. Kupingku tak steril dari seliweran kicauan emak-emak di koridor sekolah. Lucu juga, mereka saling memanggil satu sama lain dengan sebutan 'mama'. Kadang, diikuti oleh nama anak mereka. Kalo anaknya bernama Cipluk, maka sang emak bakal dilabeli 'mama Cipluk'. Aku kok haqqul yaqin, di antara para mama itu, pasti HAMPIR TAK ADA yang tahu NAMA ASLI mereka masing-masing. Sama seperti di kampung. Rumahnya Pak Hari & Bu Hari. Jadi, kalo ada yang nanya, "Permisi, rumahnya ibu Srigantung Sumirat dimana yah?" Dijamin, satpam kompleks pun bakal garuk-garuk libas ketombe.

"Ma, ntar si Mas Hiromi tampil fashion shownya 6 menit aja ya..."

"Loh, Hiromi kan pasangan sama anakku, Shalala, wah, rugi dong Shalala dandan cantik kalo cuman tampil 6 menit. Mbok ya setengah jam..."

Huekss. Kumpulan ortu narsis. Yang berharap anak-anak mereka juga terjangkiti penyakit banci tampil ala emaknya. Helloooww, fashion show anak TK setengah jam? Yang bener aje, mpoook...

Aku cemberut dalam diam. Ingin rasanya ikut terperosok ke perbincangan 'tak bermutu' itu. Tapi, sayangnya (atau, untungnya?) anakku bukan 'the chosen one' untuk ikut mewakili sekolahnya, di kompetisi antar TK se-Surabaya itu.

Rasanya, pengin jedotin kepala ke tembok. Sama sekali tak kutemukan aura 'Hey, look at me! I'm georgeous, let me be the player and I'm gonna make you proud by becoming the CHAMPION!' dalam diri anakku.

Sidqi yang humble.

Apa adanya.

Tak keberatan pergi ke sekolah prestisius itu dengan sepatu-sandal mbulak, yang solnya sudah terkiwir-kiwir. (dengan senyum ikhlas yang-mungkin-dipaksakan, sidqi kerap menukas,"Sepatuku ini bocel.")

Sidqi yang yahh, sangaat biasa.

Bodinya cuman 10 kilo. Jauh dari fisik yang layak dapat berondongan,"Aduuuh, ganteng banget siiyy... Pipinya chubby... Ihh, gemeesss..."

Tak ada yang istimewa dari seorang Sidqi.

No wonder, tak ada yang menjagokan anakku untuk jadi peserta lomba, entah fashion, entah nyanyi, entah nari....

Padahal....

Mama Sidqi adalah seorang maestro panggung kompleks

Ngemsi di event ceramah Zainuddin MZ *pas dia lagi kondang2nya, taon 1988-an gitu deh, dan blom kesandung rumor apapun*

Nyanyi, ngemsi, tilawah, di event ceramah Sitoresmi Prabuningrat *masiy di taon ketika beliau still kinyis-kinyis*

Ikut pawai, karnaval, siswi teladan, jawara lomba pidato, penggondol piala cerdas cermat, langganan penghargaan karya tulis ilmiah & lomba artikel...

BANCI TAMPIL SEJATI.

Argggh.

Kenapa Anakku tidak bisa Seperti Aku?

"Anakmu bukan anakmu

Mereka sekedar lahir darimu, tapi bukan berasal darimu

Curahkan kasih sayangnya, tetapi jangan memaksakan pikranmu, karena mereka dikaruniai pikiran sendiri

Bisa saja mereka mirip dirimu, tetapi jangan pernah menuntut mereka jadi dirimu

Kaulah busur dan anak-anakmu adalah anak panah yang meluncur

Sang Pemanah adalah Yang Maha Tahu sasaran bidikan itu"

Om Gibraaannn, ampppuuunnn...

Tau banget siy, setan macem apa yang memberangus akal sehat saya?

Hiks.

Kuintip anakku. Ia melirikku dari dalam kelas. Tersenyum. Tulus. Tanpa dibuat-buat.

Teringat 'kalimat maut' yang selalu dilancarkan Sidqi, kala mukaku terbetot gulana nan menyiksa. "Ibu, senyuuuumm... senyum kayak aku yaa..."

16 oktober 2010 yang lalu, Sidqi bermilad. Empat tahun.

Bocah semungil dia, rela memuaskan ego emaknya, untuk mengejar ilmu, sosialisasi, pergaulan, dan haha-hihi dengan segerombolan murid di sebuah TK yang berjarak 4 kilos dari rumah kami.

Naik motor. Mengalahkan kantuk. Panas. Lelah.

Bocah semungil dia, senantiasa menyambutku dengan binar matanya yang indah, kala aku tersaput lelah, usai dikejar pernak-pernik duniawi yang seolah tak kenal kata lelah.

"Ibu, abis dari kantor, mandi dulu ya Buw, ini bajunya ibu, ini handuknya."

Bocah semungil dia, meruapkan gembira tiada terkira, hanya karena aku mengajak ia memilih dan membeli sepasang sepatu berbandrol 80 ribu di toko STARS dekat rumah kami, sebagai pengganti sepatu sandalnya yang 'bocel'. Pun, ia tersenyum penuh syukur, kala aku tambahkan bonus sandal 'Upin & Ipin' seharga 25 ribu saja!

Bocah semungil dia, malam ini tidur dalam senyum, sembari ngelonin sepatu barunya, yang ia simpan dengan penuh cinta, di dalam kardus.

"Aku sayang Ibu," mantra itu ia ucap ratusan kali.

Ah, Sidqi.

Aku merasa, I'm super-Hero today.

Tapi, buatku, kamulah, Super-duper-Heroooo....

*luv you always, Nak...

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Berdaya dan Berkarya Bareng Komunitas IIDN

Bersyukur

Membincang Kematian Bersama Ananda