Idolaku Bernama Ibu
Kalau ada yang bertanya siapa perempuan terkuat di dunia,
tentu aku akan menjawab dengan lantang: Ibuku. Tak pernah kudengar sepenggal
keluhan yang terlontar dari bibirnya. Duka-nestapa separah apapun senantiasa ia
telan sendirian.
Tak pernah kulihat bias lara di mata indahnya. Mata itu
selalu pancarkan inspirasi sekaligus motivasi untuk mau berbuat kebaikan dari
hari-ke-hari. Pun, tak kulihat air mata yang mengucur deras, tatkala ia harus
ditinggalkan oleh suaminya.
“Relakan Bapak pergi ya Nak… InsyaAllah Bapak masuk surga,
dan ia akan bahagia berada di sana…”
Ibu berucap dengan suara bergetar. Seolah menahan air mata
yang nyaris tumpah, Ibu memagari dirinya dengan ketegaran yang mengerikan.
Aku masih kelas 4 SD, kala itu. Ketika tiba-tiba duniaku
berubah. Tak ada lagi sosok ayah. Kini tinggal aku, kakakku dan ibuku. Tentu
kami terhanyut dalam kepiluan yang menggelayut. Aku menangis kencang. Terbayang
fragmen-fragmen indah, yang kami lalui berempat.
Dan kini, salah satu dari kami harus berpulang. Tapi, ibu
hadir untuk menguatkan jiwa.
”Sabar ya Nak… insyaAllah, setiap peristiwa yang kita alami,
sepahit apapun, yakinlah, bahwa Allah PASTI memberikan yang terbaik untuk
kita…”
Saya selalu ingat setiap serpihan kalimat yang meluncur
darinya. Segumpal kata yang sarat makna. Seutas diksi yang membekas di hati.
Setiap melihat sorot matanya, yang begitu tangguh dan berani—kalau tak boleh
dibilang nekad—nyali saya langsung bangkit. Tak mau saya jadi pecundang, yang
terus merutuki nasib. Tak rela saya jadi perempuan menye-menye, yang gampang
terperosok dalam sedih tak berujung. Saya mau TEGAR. Saya ingin BANGKIT.
“Kalau saat ayah meninggal, ibu menangis kencang, barangkali
saat ini saya tumbuh menjadi perempuan yang rapuh.”
Suatu sore yang cerah. Seperti biasa, kami minum teh, sambil
menikmati jajan pasar. Berdua. Hanya saya dan dia.
“Kenapa begitu?”
“Ya, karena Ibu adalah role model buatku. Ibu itu
panutanku. Waktu itu, aku mau nangis dan protes sama Tuhan. Aku benci banget
dengan kenyataan bahwa ayah meninggal. Kenapa ayahku yang begitu baik malah
meninggal? Kenapa bukan orang jahat saja yang meninggal duluan? Ayah umurnya
kan masih 44? Kenapa aku yang masih sekecil itu malah dibikin nggak punya ayah?
Tapi, gara-gara lihat Ibu, aku malu kalau nangis. Wong Ibu nggak nangis, ya
sudah, aku juga brenti deh, nangisnya.”
Setengah dipaksa, bibir Ibu mengukir senyum. ”Kamu ini
bisaaaa aja!”
As a single parent, Ibu tentu harus jungkir balik
menghidupi kami berdua. Syukur Alhamdulillah, Ibu bekerja sebagai guru. Saat
itu, tahun 1990-an, gaji guru jelas jauh dari cukup. Alih-alih mengeluh (dan
sudah kubilang kalau ibuku bukan tipikal pengumbar keluh) Ibu “menjerumuskan”
dirinya untuk jadi bakul dadakan. Beliau jualan daster, alat-alat masak, terima
order nasi rantangan, macam-macam!
“Ibu pulang kerja, langsung ke pasar turi, kulakan barang.
Emangnya nggak capek Bu?”
“Nggak. Kalau semua dilakukan demi cinta, nggak bakal ada
kata capek.”
Ia menjawab sambil tersenyum. Ikhlas. Damai. ”Ibu ingin kamu
dan kakakmu bisa belajar di sekolah yang bagus. Biar kalian bisa belajar dengan
senang.”
Pada akhirnya, aku belajar, bahwa untuk survive dalam menjalani
hidup, kita hanya perlu berbekal
syukur dalam volume yang tak berhingga. Agar kita punya hati dan kesabaran seluas samudera. Dan
itu semua, kupelajari dari ibuku.
Laa Tahzan. Innallaha ma’ana...
Jangan sedih. Sesungguhnya Allah bersama kita.
Mantra itu yang membuat ibu kuat.
Mantra itu yang membuat cinta kami kian rekat.
I love you mom. I love you to the moon and back.
ah ibu memang segalanya
BalasHapusHiks terharu...Ibu nggak ada duanya ya mak..
BalasHapusSubhanallah ibu tegar sekali. Sungkem untuk ibunya, mak :)
BalasHapusInsyaAllah mak Lusi :)
HapusMakasi udah mampir dimari
Ah saya terharu membaca tulisan ini ...
BalasHapusmembayangkan ...
kelas 4 SD sudah ditinggal Ayah ...
Dan sosok Ibu menjadi tiang keluarga ...
sungguh tidak mudah menjadi penopang ...
Sehabis mengajar ... harus ke pasar pula ... lalu kulakan ... itu pasti melelahkan sekali ...
Salam saya Mak
(22/12 : 1)
(komentar pertama untuk hari ini ... )(di tengah proses menilai peserta GA Self Reflection)(hehehe)